Rosenberg Self-Esteem Scale: Cermin Nilai Diri dalam Psikologi Modern
05 December 2025
Mengenal Kembali Diri Sendiri di Cermin
Pernahkah kamu menatap cermin dan tanpa sadar mulai menilai diri sendiri? Mungkin kamu memperhatikan bentuk wajahmu, lalu pikiranmu melayang ke hal lain “Aku kurang menarik”, “Aku nggak sepintar orang lain”, atau sebaliknya, “Aku bisa kok, aku berharga.” Momen sederhana ini sering kali menggambarkan satu hal mendasar: bagaimana kita melihat dan menilai diri sendiri.
Rasa percaya diri bukan hanya soal berani berbicara di depan umum atau tampil di hadapan orang lain. Lebih dari itu, ia adalah hubungan batin dengan diri sendiri bagaimana kita berbicara, menilai, dan memperlakukan diri di dalam pikiran kita sehari-hari. Inilah yang disebut dengan self-esteem, atau harga diri.
Apa Itu Self-Esteem?
Konsep self-esteem pertama kali populer lewat penelitian Morris Rosenberg, seorang sosiolog dan psikolog sosial dari University of Maryland. Ia mendefinisikannya sebagai evaluasi menyeluruh seseorang terhadap dirinya sendiri, baik secara positif maupun negatif. Dengan kata lain, self-esteem adalah sejauh mana kita merasa “aku ini berharga dan pantas dicintai.”
Rosenberg kemudian merancang Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES), alat ukur sederhana berisi 10 pernyataan yang menilai sejauh mana seseorang memiliki pandangan positif terhadap dirinya. Meskipun sederhana, skala ini menjadi salah satu instrumen paling banyak digunakan di seluruh dunia untuk memahami kesejahteraan psikologis seseorang.
Pertanyaan seperti “Saya merasa bahwa saya memiliki sejumlah kualitas baik” atau “Secara keseluruhan, saya puas dengan diri saya sendiri” menggambarkan refleksi kecil tentang hubungan kita dengan diri sendiri, hubungan yang sering kali luput kita rawat di tengah tuntutan hidup modern.
Mengapa Self-Esteem Penting?
Self-esteem berperan besar dalam cara kita berpikir, berperilaku, dan merespons dunia. Orang dengan self-esteem tinggi biasanya merasa mampu menghadapi tantangan, lebih tahan terhadap kritik, dan mampu memandang kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Sebaliknya, self-esteem rendah sering kali membuat seseorang terjebak dalam rasa tidak layak, takut salah, atau bahkan sulit menikmati keberhasilan karena selalu merasa “masih kurang.”
Namun, penting diingat self-esteem bukan tentang “merasa hebat setiap saat.” Memiliki self-esteem yang sehat bukan berarti menolak kelemahan, tapi mampu melihat diri secara realistis: mengenali kekuatan sekaligus menerima keterbatasan.
Dari Mana Self-Esteem Terbentuk?
Harga diri tidak muncul begitu saja. Ia terbentuk dari pengalaman masa kecil, cara orang tua memberi kasih sayang, dan bagaimana lingkungan memperlakukan kita. Anak yang tumbuh dengan dorongan positif, misalnya mendapat pujian saat berusaha, bukan hanya ketika berhasil belajar melihat dirinya sebagai pribadi yang berharga apa adanya.
Namun, tidak sedikit pula yang tumbuh dalam lingkungan penuh kritik atau perbandingan. Mereka belajar bahwa nilai diri tergantung pada hasil, bukan pada usaha atau niat. Akibatnya, muncul keyakinan bawah sadar seperti “Aku hanya pantas dihargai kalau aku sempurna.” Keyakinan inilah yang kemudian terbawa hingga dewasa, memengaruhi cara kita menjalin relasi, mengambil keputusan, hingga menilai pencapaian diri sendiri.
Self-Esteem di Era Media Sosial
Di zaman sekarang, ukuran harga diri sering kali dipengaruhi oleh “cermin digital”: jumlah likes, komentar, atau validasi dari dunia maya. Tanpa disadari, kita mulai membandingkan kehidupan nyata dengan potongan terbaik dari hidup orang lain yang tampil di layar. Akibatnya, muncul paradoks modern, semakin banyak koneksi, semakin mudah merasa kurang.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan dapat menurunkan self-esteem, terutama bila digunakan untuk membandingkan diri. Namun, di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi ruang ekspresi positif jika digunakan dengan kesadaran penuh. Kuncinya bukan di platformnya, melainkan pada sejauh mana kita menilai diri berdasarkan standar internal (apa yang benar-benar penting bagi kita), bukan eksternal (apa yang dianggap penting oleh orang lain).
Mengenal Diri Lewat Rosenberg Self-Esteem Scale
Rosenberg Self-Esteem Scale membantu kita menyadari bagaimana pola pikir terhadap diri sendiri bekerja. Misalnya, ketika kamu merasa sulit menerima pujian, sering menyesali kesalahan, atau mudah mengkritik diri, itu bisa menjadi tanda bahwa self-esteem sedang goyah.
Mengisi skala ini bukan sekadar “tes psikologi,” tetapi bisa menjadi latihan reflektif.
Kamu diajak untuk berhenti sejenak dan bertanya:
-
Apakah aku sering menilai diriku lebih keras dibanding menilai orang lain?
-
Apakah aku masih bisa menghargai diriku saat gagal?
-
Apakah aku melihat diriku sebagai pribadi yang pantas bahagia?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini bisa membuka ruang kesadaran baru bahwa nilai diri tidak datang dari pencapaian, tapi dari kesediaan untuk menerima diri sebagai manusia yang terus belajar.
Saat Nilai Diri Terlalu Rendah atau Terlalu Tinggi
Self-esteem yang terlalu rendah dapat memicu kecemasan sosial, rasa tidak berdaya, atau bahkan depresi. Sementara self-esteem yang terlalu tinggi, terutama bila bersifat rapuh (narsistik), membuat seseorang sulit menerima kritik atau cenderung membenarkan diri berlebihan. Rosenberg menekankan pentingnya balanced self-esteem, rasa percaya diri yang realistis, tidak mengagungkan diri, namun juga tidak merendahkan diri secara berlebihan.
Self-esteem yang sehat membuat kita bisa berkata:
“Aku cukup baik dengan segala kekuranganku, dan aku terus berproses.”
Belajar Membangun Self-Esteem yang Sehat
Membangun rasa percaya diri bukan tentang menghapus ketidakpastian, tapi belajar hidup berdampingan dengannya. Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan antara lain:
-
Hargai proses, bukan hasil. Ingat bahwa keberhargaan diri tidak diukur dari seberapa cepat kamu berhasil, tapi dari kesediaanmu untuk terus mencoba.
-
Ubah dialog batin. Saat pikiran berkata “Aku gagal lagi,” coba ubah menjadi “Aku sedang belajar, dan itu wajar.”
-
Kenali pola perbandingan sosial. Sadari kapan kamu mulai membandingkan diri. Lalu tanyakan: “Apakah ini membantu aku tumbuh, atau justru membuatku kehilangan arah?”
-
Bangun dukungan positif. Lingkungan yang sehat, seperti teman, keluarga, komunitas, dapat menjadi cermin yang membantu kita melihat diri secara lebih jernih.
Menemukan Nilai Diri Sejati
Pada akhirnya, self-esteem bukan tentang menjadi “lebih baik dari orang lain,” melainkan menjadi lebih nyaman dengan diri sendiri. Mengukur harga diri lewat Rosenberg Self-Esteem Scale hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah bagaimana kita terus membangun hubungan penuh kasih dengan diri, sebuah proses yang tidak selesai dalam semalam.
Kamu tidak harus sempurna untuk merasa berharga.
Cukup dengan menyadari: “Aku di sini, aku berusaha, dan itu sudah cukup untuk hari ini.”
Toko psikologi terpercaya yang menyediakan jurnal psikologi, alat tes psikologi, dan berbagai produk mental health berkualitas untuk kebutuhan pribadi maupun profesional -www.tokopsikologi.com-
Referensi:
Rosenberg, M. (1965). Society and the Adolescent Self-Image. Princeton University Press.
Orth, U., & Robins, R. W. (2014). The development of self-esteem. Current Directions in Psychological Science, 23(5), 381–387.
Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2018). The narcissism epidemic: Living in the age of entitlement. Atria Books.
Schmitt, D. P., & Allik, J. (2005). Simultaneous administration of the Rosenberg Self-Esteem Scale in 53 nations: Exploring the universal and culture-specific features of global self-esteem. Journal of Personality and Social Psychology, 89(4), 623–642.
Kategori
Postingan Teratas
03 December 2025
Kecerdasan Emosional (EQ) dan Perannya dalam Kepemimpinan Efektif
12 November 2025
Kecemasan Finansial dan Dampaknya pada Keharmonisan Keluarga
04 November 2025
Mengenal manfaat musik sebagai pendukung kesehatan mental dan cara menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari